Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI BATULICIN
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
2/Pid.Pra/2019/PN Bln HENDRA JAYADI S AP bin H RUSLI EFFENDI KEPOLISIAN RESOR TANAH BUMBU Minutasi
Tanggal Pendaftaran Kamis, 13 Jun. 2019
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 2/Pid.Pra/2019/PN Bln
Tanggal Surat Kamis, 13 Jun. 2019
Nomor Surat 2/Pid.Pra/2019/PN Bln
Pemohon
NoNama
1HENDRA JAYADI S AP bin H RUSLI EFFENDI
Termohon
NoNama
1KEPOLISIAN RESOR TANAH BUMBU
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

 

I.       DASAR HUKUM PERMOHONAN PRAPERADILAN.

a.       Tindakan upaya paksa, seperti penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan yang dilakukan dengan melanggar peraturan perundang-undangan pada dasarnya merupakan suatu tindakan perampasan hak asasi manusia. Menurut Andi Hamzah (1986:10) praperadilan merupakan tempat mengadukan pelanggaran Hak Asasi Manusia, yang memang pada kenyataannya penyusunan KUHAP banyak disemangati dan berujukan pada Hukum Internasional yang telah menjadi International Customary Law. Oleh karena itu, Praperadilan menjadi satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang dari penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan tersebut. Hal ini bertujuan agar hukum ditegakkan dan perlindungan hak asasi manusia sebagai tersangka/terdakwa  dalam pemeriksaan penyidikan dan penuntutan. Di samping itu, praperadilan bermaksud sebagai pengawasan secara horizontal terhadap  hak-hak tersangka/terdakwa dalam pemeriksaan pendahuluan (vide Penjelasan Pasal 80 KUHAP). Berdasarkan pada nilai itulah penyidik atau penuntut umum dalam melakukan tindakan penetapan tersangka, penangkapan, penggeledahan, penyitaan,  penahanan, dan penuntutan agar lebih mengedepankan asas dan prinsip kehati-hatian dalam menetapkan seseorang menjadi Tersangka.

b.       Bahwa sebagaimana diketahui Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1 angka 10 menyatakan : Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang:

  1. Sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;
  2. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan;
  3. Permintaan ganti kerugian, atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.”

c.       Bahwa selain itu yang menjadi objek praperadilan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 KUHAP diantaranya adalah: Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang:

1.      sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;

2.   ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.

d.    Dalam perkembangannya pengaturan Praperadilan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 Jo.  Pasal 77 KUHAP, sering terjadi tidak dapat menjangkau fakta perlakuan aparatur penegak hukum yang nyata-nyata merupakan pelanggaran hak asasi seseorang, sehingga yang bersangkutan tidak memperoleh perlindungan hukum yang nyata dari Negara. Untuk itu perkembangan yang demikian melalui dapat diakomodirnya mengenai sah tidaknya penetapan tersangka dan sah tidaknya penyitaan telah diakui merupakan wilayah kewenangan praperadilan, sehingga dapat meminimalisasi terhadap perlakuan sewenang-wenang oleh aparat penegak hukum. Dalam kaitan perubahan dan perkembangan hukum dalam masyarakat yang demikian, bukanlah sesuatu yang mustahil terjadi dalam praktik sistem hukum di negara mana pun apalagi di dalam sistem hukum common law, yang telah merupakan bagian dari sistem hukum di Indonesia. Peristiwa hukum inilah yang menurut (alm) Satjipto Rahardjo disebut ”terobosan hukum” (legal-breakthrough) atau hukum yang prorakyat (hukum progresif) dan menurut Mochtar Kusumaatmadja merupakan hukum yang baik karena sesuai dengan perkembangan nilai-nilai keadilan yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Terobosan hukum dan hukum yang baik itu merupakan cara pandang baru dalam memandang fungsi dan peranan hukum dalam pembangunan nasional di Indonesia. Dengan demikian hukum bukan hanya memiliki aspek normatif yang diukur dari kepastiannya melainkan juga memiliki aspek nilai (values) yang merupakan bagian dinamis aspirasi masyarakat yang berkembang dan terkini.

e.     Bahwa selain itu telah terdapat beberapa putusan pengadilan yang memperkuat dan melindungi hak-hak tersangka, sehingga lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan mengadili keabsahan penetapan tersangka seperti yang terdapat dalam perkara berikut :

 

  1. Putusan Pengadilan Negeri Bengkayang No. 01/Pid.Prap/2011/PN.BKY tanggal 18 Mei 2011.
  2. Putusan Mahkamah Agung No. 88 PK/PID/2011 tanggal 17 Januari 2012.
  3. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 38/Pid.Prap/2012/Pn.Jkt.Sel tanggal 27 November 2012.
  4. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 04/Pid.Prap/2015/PN.Jkt.Sel tanggal 15 Februari 2015.
  5. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 36/Pid.Prap/2015/Pn.Jkt.Sel tanggal 26 Mei 2015.
  6. Dan lain sebagainya

f.   Bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 memperkuat diakuinya lembaga praperadilan juga dapat memeriksa dan dan mengadili keabsahan penetapan tersangka, seperti pada kutipan putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 sebagai berikut :

Mengadili,

Menyatakan :

  1. Mengabulkan Permohonan untuk sebagian :
    • [dst]
    • [dst]
    • Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara  pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;
    • Pasal 77 huruf a Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang hukum acara pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981, Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209) tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk Penetapan Tersangka, Penggeledahan dan Penyitaan;

g.    Dengan demikian jelas bahwa berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 bahwa Penetapan Tersangka merupakan bagian dari wewenang Praperadilan. Mengingat Putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan mengikat, maka sudah tidak dapat diperdebatkan lagi bahwa semua harus melaksanakan Putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sejak diucapkan.

II.         ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN.

  1.    PEMOHON TIDAK PERNAH DIPANGGIL UNTUK DIPERIKSA SEBAGAI CALON   

   TERSANGKA.   

1.1 Bahwa melalui putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014. MK mengabulkan sebagian permohonan yang salah satunya menguji ketentuan objek praperadilan. Melalui putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan inkonstitusional bersyarat terhadap frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP sepanjang dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Pasal 77 huruf a KUHAP dinyatakan inkontitusional bersyarat sepanjang dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.

1.2 Mahkamah beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti.

1.3 “Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia).

1.4 Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka  untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu.

1.5 Bahwa sebagaimana diketahui Pemohon tidak pernah dilakukan Panggilan dalam kapasitas Pemohon sebagai calon tersangka. Pada hari Jumat,  tanggal 10 Mei 2019, Pemohon HADIR di POLRES TANAH BUMBU sebagai Warga Negara yang taat dan patuh hukum berdasarkan Surat Panggilan Nomor: SP/Gil/25/V/RES.1.9/2019/Reskrim tertanggal 7 Mei 2019 untuk menghadap kepada AIPDA HARI WIBOWO untuk didengar keterangannya sebagai SAKSI dalam dugaan Tindak Pidana membuat surat tidak benar sebagaimana diatur dalam Pasal 263 KUHP berdasarkan Laporan Polisi Nomor: LP 100/IV/2019/KALSEL/RES TANBU tertangal 29 April 2019 an H. RUSLAN.

1.6 Bahwa pada hari yang sama, yaitu hari Jumat tanggal 10 Mei 2019 malam harinya, Pemohon LANGSUNG DIPERIKSA SEBAGAI TERSANGKA  DI UNIT IV TIPIDKOR SATRESKRIM POLRES TANAH BUMBU.

1.7 Bahwa kemudian pada hari yang sama, yaitu hari Jumat tanggal 10 Mei 2019 Pemohon langsung ditangkap berdasarkan SURAT PERINTAH PENANGKAPAN NOMOR; Sprint.Kap/55/V/RES.3.3.2019/Reskrim tertanggal 10 Mei 2019.

1.8 Bahwa selanjutnya pada hari Sabtu tanggal 11 Mei 2019 dilakukan Penahanan terhadap Pemohon berdasarkan SURAT PERINTAH PENAHANAN NOMOR: Sprint.Han/47/V/Res 3.3./2019/Reskrim  tertanggal 11 Mei 2019.

1.9 Bahwa TERNYATA Pemohon baru mengetahui diperiksa sebagai Tersangka, ditangkap serta ditahan berdasarkan LAPORAN POLISI MODEL A sebagaimana LAPORAN POLISI NOMOR: LP/105/V/2019/Res Tanbu/Spkt tanggal 10 MEI 2019.

1.10 Bahwa Laporan Polisi Model A terhadap Pemohon dilakukan oleh PELAPOR PADA KEPOLISIAN RESOR TANAH BUMBU yang TIDAK DIKETAHUI OLEH PEMOHON, karena  diduga melakukan Tindak Pidana KORUPSI sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a dan huruf b dan atau Pasal 11 UU NO. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU NO. 31 Tahun 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU NO. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi oleh UNIT IV TIPIDKOR SAT RESKRIM POLRES TANAH BUMBU.

1.11 Bahwa bunyi Pasal 12 adalah sebagai berikut:

Dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200.000.000., (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000., (satu milyar rupiah);

  1. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;
  2. Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang menerima hadiah, padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah tersebut diberikan sebagai akibat atau disebabkan karena telah melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya;

Pasal 11

Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000., (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000., (dua ratus lima puluh juta rupiah) pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan jabatannya, atau menurut orang yang memberikan hadiah atau janji tersebut ada hubungan dengan jawabannya.

1.12 Bahwa dalam kenyataan yang sebenar – benarnya, pada hari Jumat tanggal 10 Mei 2019 Pemohon hadir di POLRES TANAH BUMBU untuk diperiksa sebagai SAKSI dalam perkara lain, namun langsung diperiksa sebagai Tersangka kemudian pada hari yang sama ditangkap dan selanjutnya 1 (satu) hari kemudian yaitu pada hari Sabtu tanggal 11 Mei 2019 ditahan selama 20 Hari tanpa bukti permulaan dan atau cukup bukti untuk itu.

1.13 Bahwa berdasar pada putusan Mahkamah Konstitusi (MK) bernomor 21/PUU-XII/2014 Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya. Tidak pernah dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon. Dikarenakan Putusan MK bersifat final dan mengikat, serta berlaku asas Res Judicata (Putusan Hakim Harus dianggap benar) serta Putusan MK bersifat Erga Omnes (berlaku umum), maka harus menjadi rujukan dalam setiap proses pemeriksaan oleh Termohon dalam hal ini UNIT IV TIPIDKOR SATRESKRIM POLRES TANAH BUMBU.

1.14 Dengan demikian jelas tindakan Termohon dengan atau tanpa pemeriksaan calon Tersangka merupakan tindakan yang tidak sah, dan harus dibatalkan tentang penetapan Tersangka terhadap diri Pemohon oleh Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara A quo.

2. TIDAK PERNAH ADA PENYELIDIKAN DAN/ATAU PENYIDIKAN ATAS DIRI PEMOHON.

2.1 Bahwa KUHAP mengatur untuk mencapai proses Tersangka, harus dilakukan serangkaian tindakan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana (penyelidikan). Untuk itu diperlukan keterangan dari pihak terkait dan bukti awal agar dapat dijalin suatu rangkaian peritiwa sehingga dapat ditentukan ada tidaknya suatu tindak pidana.

2.2 Bahwa KUHAP juga mengatur, harus dilakukan serangkaian tindakan yang sesuai dengan hukum untuk mencari serta mengumpulkan bukti untuk membuat terang tindak pidana serta mencari tersangka pelakunya (penyidikan).

2.2.      Bahwa sebagaimana diakui oleh AIPTU WARIDI WS NRP 77070381 BANIT IDIK IV TIPIDKOR SATRESKRIM POLRES TANAH BUMBU, bahwa Penetapan Tersangka atas diri Pemohon baru diketahui oleh Pemohon melalui Penasehat Hukum berdasarkan Laporan Polisi Model A sebagaimana LAPORAN POLISI NOMOR: LP/105/V/2019/Res Tanbu/Spkt tanggal 10 MEI 2019.

2.2.      Bahwa apabila mengacu kepada Laporan Polisi tersebut, tidak pernah ada Surat Perintah Penyelidikan kepada Pemohon. Padahal sesuai Pasal 1 angka 2 dan 5 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Polisi memiliki tugas melakukan Penyelidikan dan Penyidikan.

2.2       Bahwa hal itu senada dengan penyelidikan dan penyidikan, menurut Yahya Harahap, S.H., dalam bukunya yang berjudul Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan (hal. 101), menjelaskan bahwa dari pengertian dalam KUHAP, “penyelidikan” merupakan tindakan tahap pertama permulaan “penyidikan”. Akan tetapi harus diingat, penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari fungsi “penyidikan”. Penyelidikan merupakan bagian yang tak terpisah dari fungsi penyidikan. Kalau dipinjam kata-kata yang dipergunakan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu cara atau metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada penuntut umum.

2.3.      Lebih lanjut, Yahya Harahap menyatakan bahwa jadi sebelum dilakukan tindakan penyidikan, dilakukan dulu penyelidikan oleh pejabat penyelidik, dengan maksud dan tujuan mengumpulkan “bukti permulaan” atau “bukti yang cukup” agar dapat dilakukan tindak lanjut penyidikan. Mungkin penyelidikan dapat disamakan dengan pengertian “tindak pengusutan” sebagai usaha mencari dan menemukan jejak berupa keterangan dan bukti-bukti suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana.

2.4.      Yahya Harahap (Ibid, hal. 102) juga mengatakan bahwa jika diperhatikan dengan seksama, motivasi dan tujuan penyelidikan, merupakan tuntutan tanggung jawab kepada aparat penyidik, untuk tidak melakukan tindakan penegakan hukum yang merendahkan harkat martabat manusia. Sebelum melangkah melakukan pemeriksaan penyidikan seperti penangkapan atau penahanan, harus lebih dulu berusaha mengumpulkan fakta dan bukti, sebagai landasan tindak lanjut penyidikan. Penyelidikan atas perkara orang lain tidak dapat langsung dipakai pada penyelidikan atas nama Pemohon.

2.5.      Dengan demikian jelas berdasarkan uraian singkat diatas, kegiatan Penyelidikan dan Penyidikan merupakan 2 hal yang tidak dapat berdiri sendiri dan dapat dipisahkan keduanya. Berkenaan dengan Pemohon dengan tidak pernah diterbitkannya surat perintah penyelidikan atas diri pemohon, maka dapat dikatakan penetapan tersangka dengan atau tanpa surat perintah penyelidikan dapat dikatakan tidak sah dan cacat hukum, untuk itu harus dibatalkan.

III.      PEMOHON DITETAPKAN SEBAGAI TERSANGKA, DITANGKAP SERTA DITAHAN AKAN TETAPI TERUS-MENERUS DILAKUKAN PENYIDIKAN.

3.1.      Bahwa Pemohon langsung ditetapkan serta diperiksa sebagai sebagai Tersangka dan langsung ditangkap pada hari Jumat tanggal 10 Mei 2019 berdasarkan Laporan Polisi pada hari yang sama yaitu hari Jumat tanggal 10 Mei 2019 serta Pemohon langsung ditahan sehari kemudian yaitu pada hari Sabtu tanggal 11 Mei 2019.

3.2.      Bahwa upaya paksa yang dilakukan Termohon kepada Pemohon sangat bertentangan dengan KUHAP DAN PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2012 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA khususnya Pasal 4 yang berbunyi:

            Dasar dilakukan Penyidikan:

  1. Laporan polisi/pengaduan;
  2. Surat Perintah Tugas;
  3. Laporan Hasil Penyelidikan (LHP);
  4. Surat Perintah Penyidikan dan;
  5. SPDP

Pasal 15 yang berbunyi:

Kegiatan Penyidikan dilaksanakan secara bertahap meliputi:

  1. Penyelidikan;
  2. Pengiriman SPDP;
  3. Upaya Paksa;
  4. Pemeriksaan;
  5. Gelar Perkara;
  6. Penyelesaian berkas perkara;
  7. Penyerahan berkas perkara ke penuntut umum;
  8. Penyerahan tersangka dan barang bukti dan;
  9. Penghentian penyidikan.

3.2.      Bahwa proses hukum yang dilakukan oleh Termohon terhadap Pemohon secara terang dan nyata telah menunjukkan penyalahgunaan wewenang (abuse of power) dengan semena – mena memeriksa Pemohon tanpa didahului dengan surat panggilan serta langsung menangkap dan menahannya pada saat itu juga.

3.3.      Bahwa hal tersebut merupakan salah satu bentuk kesewenang-wenangan Penyidik, dimana sesaat setelah Pemohon diperiksa sebagai tersangka langsung ditahan yang sangat bertentangan dengan makna sesungguhnya dari pengertian “PENYIDIKAN” itu sendiri. Hal mana dalam proses penyelidikan belum ada Tersangka, kalaupun ada orang yang diduga pelaku tindak pidana. Sedangkan penetapan tersangka merupakan proses yang terjadi kemudian, letaknya di akhir proses penyidikan. Menemukan tersangka menjadi bagian akhir dari proses penyidikan. Bukan penyidikan baru ditemukan tersangka. Hal itu sesuai dengan Pengertian Penyelidikan dan Penyidikan dalam KUHAP.

3.4.      Bahwa berdasar pada uraian diatas, dimana Penyidik telah menahan Pemohon akan tetapi masih dilakukan pemeriksaan terhadap saksi – saksi guna kepentingan penyidikan, maka tindakan Penyidik yang demikian merupakan tindakan yang unprosedural, sehingga dengan demikian penetapan Tersangka terhadap Pemohon serta Penangkapan dan Penahanan dapat dikategorikan cacat hukum.

IV TERMOHON TIDAK CUKUP BUKTI DALAM MENETAPKAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA.

4.1 Bahwa pada hari Jumat tanggal 10 Mei 2019 Termohon dalam menetapkan serta memeriksa Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaan Tindak Pidana KORUPSI sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a dan huruf b dan atau Pasal 11 UU NO. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU NO. 31 Tahun 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU NO. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi hanya berdasarkan LAPORAN POLISI NOMOR: LP/105/V/2019/Res Tanbu/Spkt hari yang sama yaitu hari Jumat tanggal 10 MEI 2019.

4.2 Bahwa pada hari Jumat tanggal 10 Mei 2019 Termohon “berdasarkan bukti permulaan yang cukup” telah menangkap Pemohon kemudian pada hari Sabtu tanggal 11 Mei 2019 “berdasarkan bukti yang cukup” telah menahan Pemohon tanpa melakukan proses hukum sebagaimana mestinya.

4.3 Bahwa berdasar pada Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014 Frasa “Bukti Permulaan”, Frasa “Bukti Permulaan Yang Cukup” dan “Bukti Yang Cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP oleh Mahkamah Konstitusi dinyatakan harus dimaknai sebagai “minimal dua alat bukti” sesuai dengan pasal 184 KUHAP.

4.4 Bahwa berdasar pada argument-argument sebelumnya, maka Pemohon ragu terhadap terpenuhinya 2 (dua) alat bukti yang dimiliki oleh Termohon dalam hal menetapkan Pemohon sebagai Tersangka dalam dugaan Tindak Pidana KORUPSI sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a dan huruf b dan atau Pasal 11 UU NO. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU NO. 31 Tahun 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU NO. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

4.5 Bahwa salah satu unsur penting dalam Tindak Pidana Korupsi adalah merugikan keuangan negara atau perekonomian negara yang dibuktikan dengan audit BPK dan/atau BPKP yang khusus untuk itu dimana Termohon sama sekali tidak dapat membuktikannya.

4.6 Berdasar pada uraian diatas, maka tindakan Pemohon yang tidak memenuhi minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana tertuang dalam Putusan Mahkamah Konstitusi dengan nomor Perkara 21/PUU-XII/2014, maka dapat dinyatakan tidak sah dan tidak berdasar atas hukum.

V. PENETAPAN PEMOHON SEBAGAI TERSANGKA, PENANGKAPAN SERTA PENAHANAN YANG DILAKUKAN SECARA BERSAMAAN DENGAN LAPORAN POLISI MERUPAKAN TINDAKAN KESEWENANG-WENANGAN DAN BERTENTANGAN DENGAN ASAS KEPASTIAN HUKUM

5.1.      Indonesia adalah negara demokrasi yang menjunjung tinggi hukum dan Hak azasi manusia (HAM) sehingga azas hukum presumption of innosence atau azas praduga tak bersalah menjadi penjelasan atas pengakuan kita tersebut. Bukan hanya kita, negarapun telah menuangkan itu kedalam Konstitusinya (UUD 1945 pasal 1 ayat 3) yang berbunyi “Negara Indonesia adalah negara hukum, artinya kita semua tunduk terhadap hukum dan HAM serta mesti terejawantahkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita termasuk dalam proses penegakan hukum, jika ada hal yang kemudian menyampingkan hukum dan Hak Azasi Manusia tersebut. Maka negara wajib turun tangan melalui perangkat-perangkat hukumnya untuk menyelesaikan.

5.2.      Bahwa sudah umum bilamana kepastian menjadi bagian dari suatu hukum, hal ini lebih diutamakan untuk norma hukum tertulis. Hukum tanpa nilai kepastian akan kehilangan jati diri serta maknanya, karena tidak lagi dapat digunakan sebagai pedoman perilaku setiap orang. Kepastian sendiri hakikatnya merupakan tujuan utama  dari hukum. Apabila dilihat secara historis banyak perbincangan yang telah dilakukan mengenai hukum semejak Montesquieu memgeluarkan gagasan mengenai pemisahan kekuasaan. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Dari keteraturan akan menyebabkan seseorang hidup secara berkepastian dalam melakukan kegiatan yang diperlukan dalam kehidupan masyarakat. Menurut Sudikno Mertukusumo kepastian hukum merupakan sebuah jaminan bahwa hukum tersebut harus dijalankan dengan cara yang baik. Kepastian hukum menghendaki adanya upaya pengaturan hukum dalam perundang-undangan yang dibuat oleh pihak yang berwenang dan berwibawa, sehingga aturan-aturan itu memiliki aspek yuridis yang dapat menjamin adanya kepastian bahwa hukum berfungsi sebagai suatu peraturan yang harus ditaati.

5.3.      Oemar Seno Adji menentukan prinsip ‘legality‘ merupakan karakteristik yang essentieel, baik ia dikemukakan oleh ‘Rule of Law’ – konsep, maupun oleh faham ‘Rechtstaat’ dahulu, maupun oleh konsep ‘Socialist Legality’. Demikian misalnya larangan berlakunya hukum Pidana secara retroaktif atau retrospective, larangan analogi, berlakunya azas ‘nullum delictum’ dalam Hukum Pidana, kesemuanya itu merupakan suatu refleksi dari prinsip ‘legality’.

5.4.      Bahwa dalam hukum administrasi negara Badan/Pejabat Tata Usaha Negara dilarang melakukan Penyalahgunaan Wewenang. Yang di maksud dengan Penyalahgunaan wewenang meliputi melampaui wewenang, mencampuradukkan wewenang dan bertindak sewenang-wenang. Melampaui wewenang adalah melakukan tindakan di luar wewenang yang telah ditentukan berdasarkan perundang-undangan tertentu. Mencampuradukkan kewenangan dimana asas tersebut memberikan petunjuk bahwa “pejabat pemerintah atau alat administrasi negara tidak boleh bertindak atas sesuatu yang bukan merupakan wewenangnya atau menjadi wewenang pejabat atau badan lain”. Menurut Sjachran Basah “abus de droit” (tindakan sewenang-wenang), yaitu perbuatan pejabat yang tidak sesuai dengan tujuan di luar lingkungan ketentuan perundang-undangan. Pendapat ini mengandung pengertian bahwa untuk menilai ada tidaknya penyalahgunaan wewenang dengan melakukan pengujian dengan bagaiamana tujuan dari wewenang tersebut diberikan (asas spesialitas).

5.5.      Bertindak sewenang-wenang juga dapat diartikan menggunakan wewenang (hak dan kekuasaan untuk bertindak) melebihi apa yang sepatutnya dilakukan sehingga tindakan dimaksud bertentangan dengan ketentuan Peraturan Perundang-Undangan. Penyalahgunaan wewenang juga telah diatur dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Selain itu dalam Pasal 52 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan disebutkan tentang syarat sahnya sebuah Keputusan, yakni meliputi :

ditetapkan oleh pejabat yang berwenang

– dibuat sesuai prosedur; dan

– substansi yang sesuai dengan objek Keputusan

Bahwa sebagaiman telah Pemohon uraikan diatas, bahwa Penetapan tersangka Pemohon dilakukan dengan tidak terpenuhinya prosedur menurut ketentuan peraturan-perundang undangan yang berlaku.

5.6.     Sehingga apabila sesuai dengan ulasan Pemohon dalam Permohonan A quo sebagaimana diulas panjang lebar dalam alasan Permohonan Praperadilan ini dilakukan tidak menurut ketentuan hukum yang berlaku, maka seyogyanya menurut Pasal 56 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan adalah sebagai berikut :

  • “Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf a merupakan Keputusan yang tidak sah”
  • Keputusan yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam pasal 52 ayat (1) huruf b dan c merupakan Keputusan yang batal atau dapat dibatalkan

5.7.      Berdasarkan ulasan mengenai sah dan tidaknya sebuah Keuputusan apabila dihubungkan dengan tindakan hukum yang dilakukan oleh Termohon kepada Pemohon dengan menetapkan Pemohon sebagai tersangka yang dilakukan dan ditetapkan oleh prosedur yang tidak benar, maka Majelis Hakim Pengadilan Negeri Tanah Bumbu yang memeriksa dan mengadili perkara A Quo dapat menjatuhkan putusan bahwa segala yang berhubungan dengan penetapan tersangka terhadap Pemohon dapat dinyatakan merupakan Keputusan yang tidak sah dan dapat dibatalkan menurut hukum.

VI.      GANTI KERUGIAN.

6.1.      Bahwa perbuatan Termohon yang langsung menetapkan, memeriksa Pemohon dan menangkap serta menahan Pemohon selaku Tersangka tanpa prosedur dan cacat yuridis telah bertentangan dengan hukum, telah mengakibatkan kerugian materiil dan immateriil yang tidak dapat dihitung dengan uang namun untuk kepastian hukum Pemohon menyatakan kerugian materiil adalah sebesar Rp 6.000., (enam ribu rupiah) untuk membeli materai serta kerugian immateriil sebesar Rp 100.000.000., (seratus juta rupiah).

6.2.      Bahwa melalui Putusan Yang Mulia Hakim Pengadilan Negeri Tanah Bumbu, Pemohon yakin dan percaya kepastian, keadilan dan kemanfaatan hukum dapat diperoleh dalam perkara aquo. 

VII.     PETITUM.

Bahwa berdasar pada argument dan fakta-fakta yuridis diatas, Pemohon mohon kepada Yang Mulia Hakim Pengadilan Negeri Tanah Bumbu yang memeriksa dan mengadili perkara A quo berkenan memutus perkara ini dengan amar putusan sebagai berikut :

  1. Menyatakan menerima dan mengabulkan permohonan Pemohon Praperadilan untuk seluruhnya;
  2. Menyatakan tindakan Termohon menetapkan Pemohon sebagai tersangka dalam dugaan Tindak Pidana KORUPSI sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a dan huruf b dan atau Pasal 11 UU NO. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU NO. 31 Tahun 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas UU NO. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi oleh UNIT IV TIDPIKOR SATRESKRIM POLRES TANAH BUMBU adalah salah prosedur dan cacat yuridis sehingga tidak sah dan tidak berdasarkan atas hukum dan oleh karenanya penetapan tersangka a quo tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
  3. Menyatakan Surat Perintah Penangkapan Nomor: Sprin. Kap/55/V/RES.3.3/2019/Reskrim POLRES TANAH BUMBU tertanggal 10 Mei 2019 tidak sah dan tidak berdasarkan hukum oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
  4. Menyatakan Surat Perintah Penahanan Nomor: Sprin. Kap/47/V/RES.3.3/2019/Reskrim POLRES TANAH BUMBU tertanggal 11 Mei 2019 tidak sah dan tidak berdasarkan hukum oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;
  5. Menyatakan tidak sah segala keputusan atau penetapan yang dikeluarkan lebih lanjut oleh Termohon yang berkenaan dengan penetapan tersangka atas diri Pemohon oleh Termohon;
  6. Memerintahkan kepada Termohon untuk menghentikan penyidikan terhadap perintah penyidikan kepada Pemohon;
  7. Memerintahkan kepada Ternohon untuk membebaskan Pemohon dari tahanan seketika setelah putusan ini dibacakan;
  8. Menyatakan bahwa perbuatan Termohon yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka, menangkap Pemohon serta menahan Pemohon tanpa prosedur adalah cacat yuridis serta bertentangan dengan hukum yang mengakibatkan kerugian materiil sebesar Rp 6.000., (enam ribu rupiah) untuk membeli materai dan kerugian immateriil sebesar Rp 100.000.000., (seratus juta rupiah) sehingga total kerugian materiil dan materiil yang dialami Pemohon adalah sebesar Rp 100.006.000., (seratus juta enam ribu rupiah).
  9. Memulihkan hak Pemohon dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya semula;
  10. Menghukum Termohon untuk membayar biaya perkara menurut ketentuan hukum yang berlaku.

 

 

Pihak Dipublikasikan Ya