Sistem Informasi Penelusuran Perkara
PENGADILAN NEGERI BATULICIN
INFORMASI DETAIL PERKARA



Nomor Perkara Pemohon Termohon Status Perkara
1/Pid.Pra/2021/PN Bln AKBAR FALDY KEJAKSAAN NEGERI TANAH BUMBU Minutasi
Tanggal Pendaftaran Senin, 29 Mar. 2021
Klasifikasi Perkara Sah atau tidaknya penetapan tersangka
Nomor Perkara 1/Pid.Pra/2021/PN Bln
Tanggal Surat Senin, 29 Mar. 2021
Nomor Surat 1/Pid.Pra/2021/PN Bln
Pemohon
NoNama
1AKBAR FALDY
Termohon
NoNama
1KEJAKSAAN NEGERI TANAH BUMBU
Kuasa Hukum Termohon
Petitum Permohonan

Bahwa Pemohon sangat keberatan atas penetapan tersangka dan penahanan yang dikenakan kepada Pemohon yang menyatakan sebagai berikut:

SURAT PENETAPAN TERSANGKA

NOMOR: PRINT-01/0.3.21/FD.1/03/2021

KEPALA KEJAKSAAN NEGERI TANAH BUMBU

MEMUTUSKAN

Menetapkan                                         :           Seseorang dengan identitas berikut ini:

Nama Lengkap                                     :           AKBAR FADLY

Tempat Lahir                                        :           Pagatan

Umur/Tanggal lahir                               :           43 tahun/30 September 1977

 Jenis kelamin                                       :           Laki-laki

Kebangsaan/ Kewarganegaraan             :           Indonesia

Tempat Tinggal                                     :           Jl. Anang Panangah No. 61 RT 7 Desa Pasar Baru

Kec. Kusan Hilir Kab. Tanah Bumbu

Agama                                                  :           Islam

Pekerjaan                                             :           PTT di Satpol PP dan Damkar

Pendidikan                                           :           SMA (tamat)

Menetapkan     :           Sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam

pengadaan kursi rapat dan kursi tunggu pada Pemerintah Daerah

Kabupaten Tanah Bumbu Tahun Anggaran 2019

Melanggar        :

Primair             :           Pasal 2 Ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan

ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang 

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;

Subsidair          :           Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan

ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Di tetapkan di   : Batulicin        

Pada tanggal    : 08 Maret 2021

Kepala Kejaksaan Negeri Tanah Bumbu

Selaku Penyidik.

 

Ttd

Muhammad Hamdan S, S.H.

Jaksa Madya

 

Begitupula halnya terhadap penahanan, Pemohon sangat keberatan atas penetapan penahanan yang dikenakan Termohon kepada Pemohon yang menyatakan sebagai berikut:

SURAT PERINTAH PENAHANAN

NOMOR: 01 / 0.3.21/FD.1/03/2021

KEPALA KEJAKSAAN TANAH BUMBU

 

MEMERINTAHKAN

 

Untuk                                                   :           1. Melakukan penahanan di RUTAN di Rumah

   Tahanan Kepolisian Resor Tanah Bumbu terhadap

   tersangka:

 

Nama Lengkap                                     :           AKBAR FADLY

Tempat Lahir                                        :           Pagatan

Umur/Tanggal Lahir                             :           43 Tahun/30 September 1977 

Jenis Kelamin                                        :           Laki-Laki

Kebangsaan/ Kewarganegaraan             :           Indonesia

Tempat Tinggal                                     :           Jl. Anang Panangah No. 61 RT 7 Desa Pasar

Baru Kec. Kusan Hilir Kab. Tanah Bumbu

Agama                                                  :           Islam

Pekerjaan                                             :           PTT di Satpol PP dan Damkar

Pendidikan                                           :           SMA (tamat)

Selama 20 hari terhitung mulai tanggal 08 Maret 2021 sampai dengan tanggal 27 Maret 2021.

2. Membuat Berita Acara Penahanan

Dikeluarkan di   :           Batulicin

Pada Tanggal   :           08 Maret 2021

Kepala Kejaksaan Negeri Tanah Bumbu

Selaku Penyidik.

Ttd

Muhammad Hamdan S, S.H.

Jaksa Madya.

Sebelum sampai kepada petitum atas permohonan praperadilan a quo, terlebih dahulu Pemohon akan menyampaikan hal-hal berkenaan dengan formalitas pengajuan praperadilan dan alasan-alasannya sebagai berikut: 

  1. FORMALITAS PERMOHONAN PRAPERADILAN

 

  1. Bahwa ketentuan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) menyatakan, “Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; c. permintaan kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan.
  2. Bahwa sejalan dengan itu, ketentuan Pasal 77 KUHAP menyatakan, “Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang: a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntuan; b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.” Sementara ketentuan Pasal 78 KUHAP menyatakan, “Yang melaksanakan wewenang pengadilan negeri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 adalah praperadilan.”
  3. Bahwa setelah lahirnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015 (“Putusan MK Nomor 21 Tanggal 28 April 2015”), objek praperadilan telah diperluas hingga termasuk di dalamnya adalah untuk menerima, memeriksa, dan memutus keabsahan penetapan tersangka. Pada pertimbangan putusan halaman 105-106 disebutkan:.
  4. Bahwa objek praperadilan yang diajukan Pemohon untuk diperiksa dan diputus dalam perkara a quo berkenaan dengan penetapan tersangka dan penahanan terhadap Pemohon yang didasarkan kepada Surat Penetapan Tersangka Kepala Kejaksaan Negeri Tanah Bumbu dengan Nomor: PRINT–01/0.3.21/Fd.1/03/2021 tanggal 08 Maret 2021; dan (2) Surat Perintah Penahanan Nomor: 01/O.3.21/Fd.1/03/2021 tanggal 08 Maret 2021 yang diterbitkan oleh Kepala Kejaksaan Negeri Tanah Bumbu. Dengan demikian jelaslah Pengadilan Negeri Batulicin berwenang untuk menerima, memeriksa, dan memutus permohonan praperadilan yang diajukan Pemohon.
  5. Bahwa sebagai warga negara yang memiliki hak-hak dasar yang dijamin oleh hukum, Pemohon sangat dirugikan atas penetapan tersangka dan penetapan penahanan yang diterbitkan oleh Termohon karena dilakukan dengan melanggar dan menyimpang dari prosedur hukum acara yang berlaku sebagaimana diatur dalam KUHAP dan beberapa ketentuan perubahan dan tambahan sesuai putusan Mahkamah Konstitusi. Penetapan tersangka dan penahanan yang tidak berdasarkan kepada hukum itu selain melanggar hak kemerdekaan Pemohon, secara nyata juga melanggar hak Pemohon untuk tetap dianggap tidak bersalah sampai dibuktikan kesalahan secara sah menurut ketentuan hukum acara yang berlaku (asas praduga tidak bersalah). Atas dasar itu, Pemohon secara langsung meminta kepada Pengadilan Negeri Batulicin untuk menerima, memeriksa, dan memutuskan permohonan praperadilan a quo.

Bahwa ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP menyatakan, “Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur.” Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU/XIII/2015 tanggal 9 November 2016 menegaskan pengertian frasa “perkara sudah mulai diperiksa” tersebut yakni diartikan telah dimulainya sidang pertama terhadap pokok perkara yang dimohonkan praperadilan dimaksud, atau dengan kata lain apabila sidang 

  1. pembacaan dakwaan sudah dimulai. Pemohon mengajukan Permohonan praperadilan a quo di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Batulicin pada tanggal 29 Maret 2021 di saat perkara belum dilimpahkan dan belum dilakukan persidangan pembacaan dakwaan. Dengan demikian, Pengadilan Negeri Batulicin berwenang untuk menerima, memeriksa, dan memutus permohonan praperadilan a quo.

 

II. ALASAN-ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN

 

II.1   PENETAPAN TERSANGKA DAN PENAHANAN PEMOHON CACAT HUKUM KARENA TERMOHON TIDAK MEMBERIKAN SURAT PERINTAH DIMULAINYA PENYIDIKAN KEPADA PEMOHON DI SAAT BERSTATUS SEBAGAI TERLAPOR

 

7. Bahwa semenjak diperiksa sebagai saksi Terlapor, hingga ditetapkan dengan status sebagai tersangka, Pemohon yang saat itu berstatus sebagai Terlapor tindak pidana tidak pernah ditunjukkan surat perintah dimulainya penyidikan (“SPDP”) oleh Termohon. Hingga akhirnya Pemohon ditetapkan untuk ditahan dan bahkan sampai permohonan praperadilan ini dibuat dan diajukan ke Pengadilan Negeri Batulicin, Termohon juga tidak pernah memberikan SPDP dimaksud.

8. Bahwa ketentuan Pasal 109 ayat (1) KUHAP telah menyatakan “Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum.” Kewajiban memberitahukan informasi telah dimulainya penyidikan ini, oleh Mahkamah Konstitusi telah diperluas tidak hanya kepada penuntut umum saja. Melalui Putusan Nomor 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017 (“Putusan MK Nomor 130 Tanggal 11 Januari 2017”), Mahkamah Konstitusi telah memperluas kewajiban memberikan SPDP Penyidikan juga kepada Pelapor/Korban dan termasuk juga kepada Terlapor atau pihak yang diduga telah melakukan tindak pidana. Dalam amar putusannya Mahkamah Konstitusi telah menegaskan sebagai berikut:

“Menyatakan Pasal 109 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa ‘penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum’ tidak dimaknai ‘penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor, dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan’.”

 

9. Bahwa jika membaca ketentuan Pasal 109 ayat (1) dan pemaknaannya yang diperluas oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK Nomor 130 Tanggal 11 Januari 2017, dapatlah dipahami bahwa SPDP itu haruslah diberikan kepada Pemohon dalam periode waktu 7 (tujuh) hari ketika Pemohon masih berstatus sebagai Terlapor dan belum ditetapkan sebagai 

Tersangka. Walaupun KUHAP hanya mengatur definisi “Tersangka” dan tidak mengatur definisi “Terlapor”, namun antara keduanya jelas memiliki status dan keadaan hukum yang berbeda. Tersangka menurut ketentuan Pasal 1 angka 14 KUHAP adalah, “Seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.” Sementara Terlapor adalah orang yang sekadar dilaporkan kepada aparat penegak hukum atas suatu dugaan telah melakukan tindak pidana. Seorang Terlapor belum tentu merupakan pelaku tindak pidana.

10. Bahwa perbedaan mendasar antara status Terlapor dan Tersangka terletak pada alat bukti permulaan. Seorang Terlapor baru dapat ditetapkan sebagai Tersangka apabila telah jelas terdapat minimal 2 (dua) alat bukti permulaan yang cukup untuk menetapkannya sebagai Tersangka. Karena itu, kepada seorang Terlapor haruslah dilakukan serangkaian pemeriksaan di mana dalam proses pemeriksaan itulah Terlapor diberikan kesempatan yang fair dan objektif untuk memberikan klarifikasi, bantahan, serta pembelaan diri (alibi) dan pada saat yang bersamaan pula penyidik mencari dan mengumpulkan bukti-bukti permulaan.

11. Bahwa ketentuan Pasal 109 ayat (1) KUHAP jo. Putusan MK Nomor 130 Tanggal 11 Januari 2017, mewajibkan penyidik (imperatif) untuk memberitahukan SPDP kepada Pemohon di saat masih berstatus sebagai Terlapor dan bukan ketika setelah menyandang status Tersangka dengan tujuan memberikan kesempatan kepada Terlapor menyampaikan keberatan dan klarifikasi atas laporan yang dialamatkan kepadanya itu. Penyampaian informasi itu bertujuan agar Terlapor dapat mempersiapkan diri baik secara fisik (kesehatan) dan maupun mental (psikis) mengingat konsekuensi atas laporan yang dialamatkan akan mengancam hak atas kemerdekaan (hak asasi manusia) pribadi Terlapor.

12. Bahwa nyatanya, saat ini Pemohon tidak lagi sekadar berstatus sebagai Terlapor melainkan telah ditetapkan sebagai Tersangka bahkan telah juga dilakukan penahanan. Hingga saat ini Penyidik tidak pernah mengirimkan SPDP kepada Pemohon sehingga kalaupun SPDP diserahkan kepada Pemohon saat ini, hal tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 109 ayat (1) KUHAP jo. Putusan MK Nomor 130 Tanggal 11 Januari 2017. Penyerahan SPDP di saat Pemohon telah berstatus Tersangka adalah tindakan yang terlambat dan membuktikan Termohon mengabaikan hak Terlapor untuk mengajukan keberatan atas SPDP dan/atau mempersiapkan fisik dan mental untuk melakukan pembelaan-pembelaan yang diperlukan.

13. Bahwa terhadap permohonan praperadilan a quo, Pemohon lampirkan pula beberapa putusan praperadilan yang dapat dijadikan acuan (preseden) bagi Yang Mulia Hakim Pemeriksa Praperadilan untuk memutus. Di antaranya adalah beberapa putusan pengadilan negeri yang mengabulkan permohonan praperadilan atas penetapan tersangka dengan dasar tidak diberikannya atau terlambatnya penyerahan SPDP oleh Penyidik kepada Terlapor, salah satunya putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 34/Pid.Pra/2020/PN Sby tanggal 8 Desember 2020 yang lalu. Pada pertimbangan halaman 47 dan 48 putusan tersebut ditegaskan sebagai berikut:

“Menimbang bahwa pemberitahuan dan penyerahan SPDP kepada Terlapor dalam tenggang waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya sprindik dan pada waktu sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka adalah hukumnya wajib (imperatif), maka dengan tidak dipatuhinya norma dalam pasal 109 KUHAP paska putusan Mahkamah konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 tersebut, mengakibatkan hak-hak tersangka terabaikan karena tersangka tidak bisa menyiapkan diri secara mental, hak untuk mengajukan keberatan sebelum ditetapkannya sebagai tersangka menjadi tertutup, hak mendapatkan informasi 

secara fair berkurang, seolah-olah SPDP tidak punya pelawan, tidak sesuai dengan tujuan diadakannya lembaga penyampaian SPDP kepada Terlapor sebelum ditetapkannya sebagai tersangka.”

Selanjutnya ditegaskan:

“… Oleh karena itu, kami berpendapat bahwa penetapan tersangka terhadap diri Pemohon yang dilakukan oleh Termohon yang statusnya sudah bukan sebagai Terlapor melainkan sudah tersangka adalah termasuk kategori terlambat dan sebagai akibat hukumnya, penetapan tersangka pada diri Pemohon menjadi tidak sah dengan segala akibat hukumnya.”

14. Bahwa oleh karena SPDP tidak diberikan kepada Pemohon saat Pemohon berstatus sebagai Terlapor bahkan hingga Pemohon telah ditetapkan sebagai Tersangka dan ditahan membuktikan Termohon telah mengabaikan hak-hak Pemohon untuk mengajukan keberatan ataupun mempersiapkan pembelaan diri sehubungan dengan penyidikan yang dilakukan. Dengan demikian terbukti dan tidak terbantahkan bahwa penetapan tersangka kepada Pemohon beserta penahanan dan penetapan dan/atau keputusan-keputusan lain yang menjadi turunan dari penetapan tersangka dalam proses penyidikan adalah cacat hukum karena diterbitkan dengan melanggar ketentuan Pasal 109 ayat (1) jo. Putusan MK Nomor 130 Tanggal 11 Januari 2017. Oleh karenanya terdapat cukup dasar dan alasan hukumnya bagi Yang Mulia Hakim Pemeriksa Praperadilan untuk mengabulkan permohonan praperadilan Pemohon dan menyatakan penetapan Tersangka dan mutatis mutandis penahanan Pemohon tidak sah atau batal demi hukum dengan segala akibat hukumnya.

 

II.2   PENETAPAN TERSANGKA DAN PENAHANAN PEMOHON CACAT HUKUM KARENA TIDAK DIDASARKAN KEPADA BUKTI PERMULAAN YANG CUKUP

 

15. Bahwa Pemohon sangat berkeberatan dengan penetapan tersangka dan penahanan yang dilakukan oleh Termohon melalui Surat Penetapan Tersangka Kepala Kejaksaan Negeri Tanah Bumbu dengan Nomor: PRINT–01/0.3.21/Fd.1/03/2021 tanggal 08 Maret 2021 dan Surat Perintah Penahanan Nomor: 01/O.3.21/Fd.1/03/2021 tanggal 08 Maret 2021 atas dugaan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara dalam pengadaan kursi rapat dan kursi tunggu pada Pemerintah Daerah Kabupten Tanah Bumbu Tahun Anggaran 2019. Adapun pasal yang dituduhkan kepada Pemohon adalah sebagai berikut:

 

  1. Primair: Pasal 2 Ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“Undang-Undang Pemberantasan Tipikor”).
  2. Subsidair: Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tipikor. 

    16. Bahwa dalam ketentuan Pasal 1 angka 2 KUHAP telah disebutkan, “Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.” Dengan pengertian penyidikan demikian dapatlah dipahami bahwa proses penyidikan yang ditempuh penyidik dalam menangani suatu perkara bertujuan untuk memperoleh 3 (tiga) hal, yakni “mengumpulkan bukti, “membuat terang tindak pidana yang terjadi, serta “menemukan tersangkanya. Penemuan tersangka diletakkan pembuat undang-undang di akhir proses setelah pengumpulan bukti untuk membuat terang tindak pidana tuntas dilakukan. Dengan kata lain, titik pangkal seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka bermula dari pengumpulan bukti-bukti yang mendasarinya.

    17. Bahwa ketentuan Pasal 1 angka 11 KUHAP telah secara tegas menyatakan, “Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.” Pengertian bukti permulaan di dalam KUHAP muncul dalam beberapa istilah, di antaranya dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17 dan Pasal 21 masing-masing menggunakan istilah “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup”.  Berkenaan dengan pengertian itu, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK Nomor 21 Tanggal 28 April 2015 telah mempertegas makna bukti permulaan dimaksud yakni berupa minimal 2 (dua) alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP.

     

    18. Bahwa ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP menyebutkan, “Alat bukti yang sah ialah: (a) keterangan saksi; (b) keterangan ahli; (c) surat; (d) petunjuk; (e) keterangan terdakwa.” Dengan merujuk kepada Putusan MK Nomor 21 Tanggal 28 April 2015, maka bukti permulaan yang harus dipenuhi untuk menetapkan Pemohon sebagai Tersangka haruslah berupa minimal 2 (dua) dari kelima alat bukti sebagaimana disebutkan Pasal 184 ayat (1) di atas. Untuk bukti "petunjuk" dan "keterangan terdakwa" tidak didapat dalam proses penyidikan melainkan ketika pemeriksaan persidangan di Pengadilan. Dengan begitu 2 (dua) minimal alat bukti yang dapat dipergunakan penyidik untuk menetapkan Pemohon sebagai tersangka hanyalah "keterangan saksi", "keterangan ahli", dan "surat". Tanpa 2 (dua) dari ketiga alat bukti itu, maka penetapan tersangka kepada Pemohon menjadi cacat hukum atau tidak sah.

     

    19. Bahwa sebagaimana tertuang dalam Penetapan Tersangka Kepala Kejaksaan Negeri Tanah Bumbu dengan Nomor: PRINT–01/0.3.21/Fd.1/03/2021 tanggal 08 Maret 2021, dapatlah diketahui bahwa Termohon menyidik Pemohon dengan tindak pidana primair berupa Pasal 2 ayat (1) dan tindak pidana subsidair berupa Pasal 3, yang keduanya dihubungkan dengan Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tipikor. Masing-masing Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 yang dituduhkan tersebut berbunyi sebagai berikut:

    Pasal 2 ayat (1)

    “Setiap orang yang secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Pasal 3

“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

20. Bahwa mengenai pemberlakuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tipikor yang dituduhkan Termohon kepada Pemohon di atas, Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 25/PUU-XIV/2016 tanggal 25 Januari 2017 (“Putusan MK Nomor 25 Tanggal 25 Januari 2017”)  telah menyatakan frasa kata "dapat” merugikan keuangan negara yang terdapat pada kedua pasal tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Akibatnya sejak putusan Mahkamah Konstitusi tersebut delik Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tipikor tersebut telah dipertegas jenisnya dari semula delik formil yang memperbolehkan perkiraan potensi kerugian negara (potential loss), menjadi delik materil di mana kerugian negara adalah termasuk unsur akibat hukum yang wajib dibuktikan (actual loss).

21. Bahwa ketentuan Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharan Negara dan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan mendefinisikan kerugian Negara/Daerah sebagai, “…kekurangan uang, surat berharga dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” Sejalan dengan itu, penjelasan ketentuan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tipikor menyatakan, “Yang dimaksud dengan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.”

22. Bahwa mengenai instansi yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan atas dugaan kerugian negara di atas, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2016 tanggal 9 Desember 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (“SEMA No. 04 Tahun 2016”), pada bagian “Rumusan Kamar Hukum Pidana”, angka 6 telah menegaskan:

  • Instansi yang berwenang menyatakan ada tidaknya kerugian keuangan Negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan yang memiliki kewenangan konstitusional sedangkan instansi lainnya seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan/ Inspektorat/Satuan Kerja Perangkat Daerah tetap berwenang melakukan pemeriksaan dan audit pengelolaan keuangan Negara namun tidak berwenang menyatakan atau men-declare adanya kerugian keuangan Negara. Dalam hal tertentu Hakim berdasarkan fakta persidangan dapat menilai adanya kerugian Negara dan besarnya kerugian Negara.”

Dengan demikian, menjadi jelas bahwa instansi yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan atas dugaan kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (“BPK RI”). Sementara instansi lain seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (“BPKP RI”) atau Inspektorat atau Satuan Perangkat Kerja Daerah 

ditegaskan Mahkamah Agung tidak memiliki wewenang untuk menentukan nilai kerugian negara secara nyata dan pasti.

23. Bahwa selain ditegaskan Rumusan Rapat Kamar Mahkamah Agung, wewenang BPK RI untuk memeriksa, menghitung, dan menentukan nilai kerugian negara yang nyata jumlahnya juga ditegaskan oleh Fatwa Mahkamah Agung Nomor: 068/KMA/HK.01/VII/2012, tanggal 27 Juli 2012, yang menyebutkan:

“…menurut pendapat dan pertimbangan Mahkamah Agung apa yang dimohonkan dalam surat tersebut di atas yaitu pada pokoknya mengenai hal-hal yang dicantumkan dalam angka ke-1 butir a, b dan c tersebut di atas dapat dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku”.

Dalam angka 1 butir c dinyatakan,

“Bahwa jumlah kerugian negara yang dapat dipertimbangkan dalam proses peradilan adalah jumlah kerugian negara yang dinilai dan/atau ditetapkan dengan keputusan BPK.”

24. Bahwa berdasarkan uraian angka 15 hingga 23 di atas, dapatlah dipahami bahwa penetapan tersangka hanya bisa dilakukan dengan dasar minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Selanjutnya dengan dasar Putusan MK Nomor 21 Tanggal 28 April 2015, Putusan MK Nomor 25 Tanggal 25 Januari 2017, dikaitkan dengan SEMA Nomor 04 Tahun 2016 dan Fatwa Mahkamah Agung Nomor: 068/KMA/HK.01/VII/2012 tanggal 27 Juli 2012, dapat disimpulkan bahwa salah satu alat bukti permulaan untuk menetapkan Pemohon sebagai tersangka adalah bukti kerugian negara yang nyata dan pasti jumlahnya yang didapat dari hasil Pemeriksaan yang dikeluarkan oleh BPK RI.

25. Bahwa ketika menetapkan Pemohon sebagai tersangka telah nyata bahwa Termohon belum pernah meminta kepada BPK RI untuk melakukan pemeriksaan guna menghitung kerugian negara yang nyata dan pasti jumlahnya (actual loss). Dengan belum dilakukannya penghitungan kerugian negara melalui pemeriksaan oleh BPK RI tersebut jelas membuktikan penetapan tersangka Pemohon cacat hukum karena tidak didasarkan oleh bukti permulaan yang cukup yang dapat menggambarkan kerugian negara telah benar-benar terjadi yang nyata dan pasti jumlahnya. Dengan demikian terdapat cukup dasar dan alasan hukum bagi Yang Mulia Hakim Pemeriksa Praperadilan untuk menyatakan penetapan tersangka kepada Pemohon dan tindak lanjutnya berupa penahanan batal atau tidak sah karena tidak didasarkan pada bukti permulaan yang cukup, utamanya belum terdapat hasil pemeriksaan dari BPK RI yang menyatakan bahwa benar telah terdapat kerugian negara yang nyata dan pasti jumlahnya.

III. PETITUM

Berdasarkan seluruh alasan-alasan permohonan praperadilan yang Pemohon sampaikan di atas, Pemohon dengan ini memohon agar sudilah Hakim Pemeriksa Praperadilan berkenan memutus permohonan a quo  sebagai berikut:

  1. Mengabulkan permohonan Praperadilan Pemohon untuk seluruhnya.

Menyatakan batal, tidak sah dan tidak berdasar hukum Surat Penetapan Tersangka Nomor: Print-01/0.3.21/Fd.1/03/2021 tangal 08 Maret 2021 yang diterbitkan oleh  

  1. Termohon yang menetapkan Pemohon sebagai Tersangka atas dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan kursi rapat dan kursi tunggu pada Pemerintah Daerah Kabupaten Tanah Bumbu Tahun Anggaran 2019, dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya.
  2. Menyatakan batal, tidak sah, dan tidak berdasar hukum Surat Perintah Penahanan Nomor: 01/O.3.21/Fd.1/03/2021 tanggal 08 Maret 2021 yang diterbitkan oleh Termohon yang memerintahkan Pemohon untuk ditahan di Rumah Tahanan Kepolisian Resor Tanah Bumbu selama 20 hari terhitung mulai tanggal 08 Maret 2021 sampai dengan tanggal 27 Maret 2021 dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya.
  3. Memerintahkan Termohon mengeluarkan Pemohon dari tahanan seketika setelah putusan praperadilan dibacakan.
  4. Menyatakan batal, tidak sah, dan tidak berdasar hukum setiap penetapan dan/atau keputusan-keputusan lain yang menjadi turunan dari penetapan tersangka dalam proses penyidikan atas dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan kursi rapat dan kursi tunggu pada Pemerintah Daerah Kabupaten Tanah Bumbu Tahun Anggaran 2019, dan oleh karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dengan segala akibat hukumnya.
  5. Menyatakan batal, tidak sah, dan tidak berdasar hukum Penyidikan yang dilaksanakan oleh Termohon terkait dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan kursi rapat dan kursi tunggu pada Pemerintah Daerah Kabupaten Tanah Bumbu Tahun Anggaran 2019 yang didasarkan kepada Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Tanah Bumbu Nomor 01/O.3.21/Fd.1/03/2021 tanggal 03 Maret 2021 dan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Tanah Bumbu Nomor 01.a/O.3.21/Fd.1/03/2021 tanggal 03 Maret 2021 oleh karena belum dilakukan pemeriksaan BPK RI untuk menghitung dan menentukan kerugian negara yang nyata dan pasti jumlahnya.
  6. Memerintahkan Termohon untuk menghentikan penyidikan atas dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan kursi rapat dan kursi tunggu pada Pemerintah Daerah Kabupaten Tanah Bumbu Tahun Anggaran 2019 yang didasarkan kepada Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Tanah Bumbu Nomor 01/O.3.21/Fd.1/03/2021 tanggal 03 Maret 2021 dan Surat Perintah Penyidikan Kepala Kejaksaan Negeri Tanah Bumbu Nomor 01.a/O.3.21/Fd.1/03/2021 tanggal 03 Maret 2021 oleh karena tidak terdapat bukti yang cukup untuk itu.
  7. Memerintahkan Termohon untuk memulihkan hak-hak Pemohon seketika setelah putusan praperadilan dibacakan seperti sediakala sebelum penetapan Tersangka.
  8. Membebankan biaya perkara yang timbul kepada Negara.

Atau apabila Hakim berpendapat lain mohon Putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

 

Pihak Dipublikasikan Ya