Kembali |
Nomor Perkara | Pemohon | Termohon | Status Perkara |
1/Pid.Pra/2021/PN Bln | AKBAR FALDY | KEJAKSAAN NEGERI TANAH BUMBU | Minutasi |
Tanggal Pendaftaran | Senin, 29 Mar. 2021 | ||||
Klasifikasi Perkara | Sah atau tidaknya penetapan tersangka | ||||
Nomor Perkara | 1/Pid.Pra/2021/PN Bln | ||||
Tanggal Surat | Senin, 29 Mar. 2021 | ||||
Nomor Surat | 1/Pid.Pra/2021/PN Bln | ||||
Pemohon |
|
||||
Termohon |
|
||||
Kuasa Hukum Termohon | |||||
Petitum Permohonan | Bahwa Pemohon sangat keberatan atas penetapan tersangka dan penahanan yang dikenakan kepada Pemohon yang menyatakan sebagai berikut: SURAT PENETAPAN TERSANGKA NOMOR: PRINT-01/0.3.21/FD.1/03/2021 KEPALA KEJAKSAAN NEGERI TANAH BUMBU … MEMUTUSKAN Menetapkan : Seseorang dengan identitas berikut ini: Nama Lengkap : AKBAR FADLY Tempat Lahir : Pagatan Umur/Tanggal lahir : 43 tahun/30 September 1977 Jenis kelamin : Laki-laki Kebangsaan/ Kewarganegaraan : Indonesia Tempat Tinggal : Jl. Anang Panangah No. 61 RT 7 Desa Pasar Baru Kec. Kusan Hilir Kab. Tanah Bumbu Agama : Islam Pekerjaan : PTT di Satpol PP dan Damkar Pendidikan : SMA (tamat) Menetapkan : Sebagai tersangka dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi dalam pengadaan kursi rapat dan kursi tunggu pada Pemerintah Daerah Kabupaten Tanah Bumbu Tahun Anggaran 2019 Melanggar : Primair : Pasal 2 Ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Subsidair : Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di tetapkan di : Batulicin Pada tanggal : 08 Maret 2021 Kepala Kejaksaan Negeri Tanah Bumbu Selaku Penyidik.
Ttd Muhammad Hamdan S, S.H. Jaksa Madya
Begitupula halnya terhadap penahanan, Pemohon sangat keberatan atas penetapan penahanan yang dikenakan Termohon kepada Pemohon yang menyatakan sebagai berikut: SURAT PERINTAH PENAHANAN NOMOR: 01 / 0.3.21/FD.1/03/2021 KEPALA KEJAKSAAN TANAH BUMBU
… MEMERINTAHKAN …
Untuk : 1. Melakukan penahanan di RUTAN di Rumah Tahanan Kepolisian Resor Tanah Bumbu terhadap tersangka:
Nama Lengkap : AKBAR FADLY Tempat Lahir : Pagatan Umur/Tanggal Lahir : 43 Tahun/30 September 1977 Jenis Kelamin : Laki-Laki Kebangsaan/ Kewarganegaraan : Indonesia Tempat Tinggal : Jl. Anang Panangah No. 61 RT 7 Desa Pasar Baru Kec. Kusan Hilir Kab. Tanah Bumbu Agama : Islam Pekerjaan : PTT di Satpol PP dan Damkar Pendidikan : SMA (tamat) Selama 20 hari terhitung mulai tanggal 08 Maret 2021 sampai dengan tanggal 27 Maret 2021. 2. Membuat Berita Acara Penahanan Dikeluarkan di : Batulicin Pada Tanggal : 08 Maret 2021 Kepala Kejaksaan Negeri Tanah Bumbu Selaku Penyidik. Ttd Muhammad Hamdan S, S.H. Jaksa Madya. Sebelum sampai kepada petitum atas permohonan praperadilan a quo, terlebih dahulu Pemohon akan menyampaikan hal-hal berkenaan dengan formalitas pengajuan praperadilan dan alasan-alasannya sebagai berikut:
Bahwa ketentuan Pasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP menyatakan, “Dalam hal suatu perkara sudah mulai diperiksa oleh pengadilan negeri, sedangkan pemeriksaan mengenai permintaan kepada praperadilan belum selesai, maka permintaan tersebut gugur.” Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU/XIII/2015 tanggal 9 November 2016 menegaskan pengertian frasa “perkara sudah mulai diperiksa” tersebut yakni diartikan telah dimulainya sidang pertama terhadap pokok perkara yang dimohonkan praperadilan dimaksud, atau dengan kata lain apabila sidang
II. ALASAN-ALASAN PERMOHONAN PRAPERADILAN
II.1 PENETAPAN TERSANGKA DAN PENAHANAN PEMOHON CACAT HUKUM KARENA TERMOHON TIDAK MEMBERIKAN SURAT PERINTAH DIMULAINYA PENYIDIKAN KEPADA PEMOHON DI SAAT BERSTATUS SEBAGAI TERLAPOR
7. Bahwa semenjak diperiksa sebagai saksi Terlapor, hingga ditetapkan dengan status sebagai tersangka, Pemohon yang saat itu berstatus sebagai Terlapor tindak pidana tidak pernah ditunjukkan surat perintah dimulainya penyidikan (“SPDP”) oleh Termohon. Hingga akhirnya Pemohon ditetapkan untuk ditahan dan bahkan sampai permohonan praperadilan ini dibuat dan diajukan ke Pengadilan Negeri Batulicin, Termohon juga tidak pernah memberikan SPDP dimaksud. 8. Bahwa ketentuan Pasal 109 ayat (1) KUHAP telah menyatakan “Dalam hal penyidik telah mulai melakukan penyidikan suatu peristiwa yang merupakan tindak pidana, penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum.” Kewajiban memberitahukan informasi telah dimulainya penyidikan ini, oleh Mahkamah Konstitusi telah diperluas tidak hanya kepada penuntut umum saja. Melalui Putusan Nomor 130/PUU-XIII/2015 tanggal 11 Januari 2017 (“Putusan MK Nomor 130 Tanggal 11 Januari 2017”), Mahkamah Konstitusi telah memperluas kewajiban memberikan SPDP Penyidikan juga kepada Pelapor/Korban dan termasuk juga kepada Terlapor atau pihak yang diduga telah melakukan tindak pidana. Dalam amar putusannya Mahkamah Konstitusi telah menegaskan sebagai berikut: “Menyatakan Pasal 109 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang frasa ‘penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum’ tidak dimaknai ‘penyidik wajib memberitahukan dan menyerahkan surat perintah dimulainya penyidikan kepada penuntut umum, terlapor, dan korban/pelapor, dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya surat perintah penyidikan’.”
9. Bahwa jika membaca ketentuan Pasal 109 ayat (1) dan pemaknaannya yang diperluas oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan MK Nomor 130 Tanggal 11 Januari 2017, dapatlah dipahami bahwa SPDP itu haruslah diberikan kepada Pemohon dalam periode waktu 7 (tujuh) hari ketika Pemohon masih berstatus sebagai Terlapor dan belum ditetapkan sebagai Tersangka. Walaupun KUHAP hanya mengatur definisi “Tersangka” dan tidak mengatur definisi “Terlapor”, namun antara keduanya jelas memiliki status dan keadaan hukum yang berbeda. Tersangka menurut ketentuan Pasal 1 angka 14 KUHAP adalah, “Seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.” Sementara Terlapor adalah orang yang sekadar dilaporkan kepada aparat penegak hukum atas suatu dugaan telah melakukan tindak pidana. Seorang Terlapor belum tentu merupakan pelaku tindak pidana. 10. Bahwa perbedaan mendasar antara status Terlapor dan Tersangka terletak pada alat bukti permulaan. Seorang Terlapor baru dapat ditetapkan sebagai Tersangka apabila telah jelas terdapat minimal 2 (dua) alat bukti permulaan yang cukup untuk menetapkannya sebagai Tersangka. Karena itu, kepada seorang Terlapor haruslah dilakukan serangkaian pemeriksaan di mana dalam proses pemeriksaan itulah Terlapor diberikan kesempatan yang fair dan objektif untuk memberikan klarifikasi, bantahan, serta pembelaan diri (alibi) dan pada saat yang bersamaan pula penyidik mencari dan mengumpulkan bukti-bukti permulaan. 11. Bahwa ketentuan Pasal 109 ayat (1) KUHAP jo. Putusan MK Nomor 130 Tanggal 11 Januari 2017, mewajibkan penyidik (imperatif) untuk memberitahukan SPDP kepada Pemohon di saat masih berstatus sebagai Terlapor dan bukan ketika setelah menyandang status Tersangka dengan tujuan memberikan kesempatan kepada Terlapor menyampaikan keberatan dan klarifikasi atas laporan yang dialamatkan kepadanya itu. Penyampaian informasi itu bertujuan agar Terlapor dapat mempersiapkan diri baik secara fisik (kesehatan) dan maupun mental (psikis) mengingat konsekuensi atas laporan yang dialamatkan akan mengancam hak atas kemerdekaan (hak asasi manusia) pribadi Terlapor. 12. Bahwa nyatanya, saat ini Pemohon tidak lagi sekadar berstatus sebagai Terlapor melainkan telah ditetapkan sebagai Tersangka bahkan telah juga dilakukan penahanan. Hingga saat ini Penyidik tidak pernah mengirimkan SPDP kepada Pemohon sehingga kalaupun SPDP diserahkan kepada Pemohon saat ini, hal tersebut jelas bertentangan dengan Pasal 109 ayat (1) KUHAP jo. Putusan MK Nomor 130 Tanggal 11 Januari 2017. Penyerahan SPDP di saat Pemohon telah berstatus Tersangka adalah tindakan yang terlambat dan membuktikan Termohon mengabaikan hak Terlapor untuk mengajukan keberatan atas SPDP dan/atau mempersiapkan fisik dan mental untuk melakukan pembelaan-pembelaan yang diperlukan. 13. Bahwa terhadap permohonan praperadilan a quo, Pemohon lampirkan pula beberapa putusan praperadilan yang dapat dijadikan acuan (preseden) bagi Yang Mulia Hakim Pemeriksa Praperadilan untuk memutus. Di antaranya adalah beberapa putusan pengadilan negeri yang mengabulkan permohonan praperadilan atas penetapan tersangka dengan dasar tidak diberikannya atau terlambatnya penyerahan SPDP oleh Penyidik kepada Terlapor, salah satunya putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 34/Pid.Pra/2020/PN Sby tanggal 8 Desember 2020 yang lalu. Pada pertimbangan halaman 47 dan 48 putusan tersebut ditegaskan sebagai berikut: “Menimbang bahwa pemberitahuan dan penyerahan SPDP kepada Terlapor dalam tenggang waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dikeluarkannya sprindik dan pada waktu sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka adalah hukumnya wajib (imperatif), maka dengan tidak dipatuhinya norma dalam pasal 109 KUHAP paska putusan Mahkamah konstitusi Nomor 130/PUU-XIII/2015 tersebut, mengakibatkan hak-hak tersangka terabaikan karena tersangka tidak bisa menyiapkan diri secara mental, hak untuk mengajukan keberatan sebelum ditetapkannya sebagai tersangka menjadi tertutup, hak mendapatkan informasi secara fair berkurang, seolah-olah SPDP tidak punya pelawan, tidak sesuai dengan tujuan diadakannya lembaga penyampaian SPDP kepada Terlapor sebelum ditetapkannya sebagai tersangka.” Selanjutnya ditegaskan: “… Oleh karena itu, kami berpendapat bahwa penetapan tersangka terhadap diri Pemohon yang dilakukan oleh Termohon yang statusnya sudah bukan sebagai Terlapor melainkan sudah tersangka adalah termasuk kategori terlambat dan sebagai akibat hukumnya, penetapan tersangka pada diri Pemohon menjadi tidak sah dengan segala akibat hukumnya.” 14. Bahwa oleh karena SPDP tidak diberikan kepada Pemohon saat Pemohon berstatus sebagai Terlapor bahkan hingga Pemohon telah ditetapkan sebagai Tersangka dan ditahan membuktikan Termohon telah mengabaikan hak-hak Pemohon untuk mengajukan keberatan ataupun mempersiapkan pembelaan diri sehubungan dengan penyidikan yang dilakukan. Dengan demikian terbukti dan tidak terbantahkan bahwa penetapan tersangka kepada Pemohon beserta penahanan dan penetapan dan/atau keputusan-keputusan lain yang menjadi turunan dari penetapan tersangka dalam proses penyidikan adalah cacat hukum karena diterbitkan dengan melanggar ketentuan Pasal 109 ayat (1) jo. Putusan MK Nomor 130 Tanggal 11 Januari 2017. Oleh karenanya terdapat cukup dasar dan alasan hukumnya bagi Yang Mulia Hakim Pemeriksa Praperadilan untuk mengabulkan permohonan praperadilan Pemohon dan menyatakan penetapan Tersangka dan mutatis mutandis penahanan Pemohon tidak sah atau batal demi hukum dengan segala akibat hukumnya.
II.2 PENETAPAN TERSANGKA DAN PENAHANAN PEMOHON CACAT HUKUM KARENA TIDAK DIDASARKAN KEPADA BUKTI PERMULAAN YANG CUKUP
15. Bahwa Pemohon sangat berkeberatan dengan penetapan tersangka dan penahanan yang dilakukan oleh Termohon melalui Surat Penetapan Tersangka Kepala Kejaksaan Negeri Tanah Bumbu dengan Nomor: PRINT–01/0.3.21/Fd.1/03/2021 tanggal 08 Maret 2021 dan Surat Perintah Penahanan Nomor: 01/O.3.21/Fd.1/03/2021 tanggal 08 Maret 2021 atas dugaan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara dalam pengadaan kursi rapat dan kursi tunggu pada Pemerintah Daerah Kabupten Tanah Bumbu Tahun Anggaran 2019. Adapun pasal yang dituduhkan kepada Pemohon adalah sebagai berikut:
Pasal 3 “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).” 20. Bahwa mengenai pemberlakuan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tipikor yang dituduhkan Termohon kepada Pemohon di atas, Mahkamah Konstitusi melalui putusan Nomor 25/PUU-XIV/2016 tanggal 25 Januari 2017 (“Putusan MK Nomor 25 Tanggal 25 Januari 2017”) telah menyatakan frasa kata "dapat” merugikan keuangan negara yang terdapat pada kedua pasal tersebut bertentangan dengan UUD Tahun 1945. Akibatnya sejak putusan Mahkamah Konstitusi tersebut delik Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tipikor tersebut telah dipertegas jenisnya dari semula delik formil yang memperbolehkan perkiraan potensi kerugian negara (potential loss), menjadi delik materil di mana kerugian negara adalah termasuk unsur akibat hukum yang wajib dibuktikan (actual loss). 21. Bahwa ketentuan Pasal 1 angka 22 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharan Negara dan Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan mendefinisikan kerugian Negara/Daerah sebagai, “…kekurangan uang, surat berharga dan barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai.” Sejalan dengan itu, penjelasan ketentuan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tipikor menyatakan, “Yang dimaksud dengan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara adalah kerugian yang sudah dapat dihitung jumlahnya berdasarkan hasil temuan instansi yang berwenang atau akuntan publik yang ditunjuk.” 22. Bahwa mengenai instansi yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan atas dugaan kerugian negara di atas, Mahkamah Agung Republik Indonesia telah menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 04 Tahun 2016 tanggal 9 Desember 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan (“SEMA No. 04 Tahun 2016”), pada bagian “Rumusan Kamar Hukum Pidana”, angka 6 telah menegaskan:
Dengan demikian, menjadi jelas bahwa instansi yang berwenang untuk melakukan pemeriksaan atas dugaan kerugian keuangan negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (“BPK RI”). Sementara instansi lain seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (“BPKP RI”) atau Inspektorat atau Satuan Perangkat Kerja Daerah ditegaskan Mahkamah Agung tidak memiliki wewenang untuk menentukan nilai kerugian negara secara nyata dan pasti. 23. Bahwa selain ditegaskan Rumusan Rapat Kamar Mahkamah Agung, wewenang BPK RI untuk memeriksa, menghitung, dan menentukan nilai kerugian negara yang nyata jumlahnya juga ditegaskan oleh Fatwa Mahkamah Agung Nomor: 068/KMA/HK.01/VII/2012, tanggal 27 Juli 2012, yang menyebutkan: “…menurut pendapat dan pertimbangan Mahkamah Agung apa yang dimohonkan dalam surat tersebut di atas yaitu pada pokoknya mengenai hal-hal yang dicantumkan dalam angka ke-1 butir a, b dan c tersebut di atas dapat dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku”. Dalam angka 1 butir c dinyatakan, “Bahwa jumlah kerugian negara yang dapat dipertimbangkan dalam proses peradilan adalah jumlah kerugian negara yang dinilai dan/atau ditetapkan dengan keputusan BPK.” 24. Bahwa berdasarkan uraian angka 15 hingga 23 di atas, dapatlah dipahami bahwa penetapan tersangka hanya bisa dilakukan dengan dasar minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana dimaksud Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Selanjutnya dengan dasar Putusan MK Nomor 21 Tanggal 28 April 2015, Putusan MK Nomor 25 Tanggal 25 Januari 2017, dikaitkan dengan SEMA Nomor 04 Tahun 2016 dan Fatwa Mahkamah Agung Nomor: 068/KMA/HK.01/VII/2012 tanggal 27 Juli 2012, dapat disimpulkan bahwa salah satu alat bukti permulaan untuk menetapkan Pemohon sebagai tersangka adalah bukti kerugian negara yang nyata dan pasti jumlahnya yang didapat dari hasil Pemeriksaan yang dikeluarkan oleh BPK RI. 25. Bahwa ketika menetapkan Pemohon sebagai tersangka telah nyata bahwa Termohon belum pernah meminta kepada BPK RI untuk melakukan pemeriksaan guna menghitung kerugian negara yang nyata dan pasti jumlahnya (actual loss). Dengan belum dilakukannya penghitungan kerugian negara melalui pemeriksaan oleh BPK RI tersebut jelas membuktikan penetapan tersangka Pemohon cacat hukum karena tidak didasarkan oleh bukti permulaan yang cukup yang dapat menggambarkan kerugian negara telah benar-benar terjadi yang nyata dan pasti jumlahnya. Dengan demikian terdapat cukup dasar dan alasan hukum bagi Yang Mulia Hakim Pemeriksa Praperadilan untuk menyatakan penetapan tersangka kepada Pemohon dan tindak lanjutnya berupa penahanan batal atau tidak sah karena tidak didasarkan pada bukti permulaan yang cukup, utamanya belum terdapat hasil pemeriksaan dari BPK RI yang menyatakan bahwa benar telah terdapat kerugian negara yang nyata dan pasti jumlahnya. III. PETITUM Berdasarkan seluruh alasan-alasan permohonan praperadilan yang Pemohon sampaikan di atas, Pemohon dengan ini memohon agar sudilah Hakim Pemeriksa Praperadilan berkenan memutus permohonan a quo sebagai berikut:
Menyatakan batal, tidak sah dan tidak berdasar hukum Surat Penetapan Tersangka Nomor: Print-01/0.3.21/Fd.1/03/2021 tangal 08 Maret 2021 yang diterbitkan oleh
Atau apabila Hakim berpendapat lain mohon Putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).
|
||||
Pihak Dipublikasikan | Ya |